Apakah Anda Buta Huruf?


APAKAH ANDA BUTA HURUF?   

Oleh: Rohani

Anda mungkin merasa tersinggung atau penasaran ketika membaca judul di atas, karena Anda merasa tidak buta huruf. Bagi orang yang memang benar-benar buta huruf, dia tidak akan tersinggung dengan judul di atas, karena dia tidak mengerti sehingga tidak akan merasakan apa-apa.

Orang yang buta huruf diistilahkan “illiterate.” Orang yang tidak buta huruf diistilahkan “literate.” Kemampuan membaca dan menulis istilahnya adalah “literacy” atau “literasi” dalam istilah yang telah diIndonesiakan.  

Literasi bukan hanya perihal membaca atau menulis huruf-huruf saja. Ada beberapa tingkatan literasi.

Literasi Tingkat 1 
Pada tingkatan ini, orang mampu mengubah (decode) simbol-simbol menjadi simbol yang lain. Contoh, mengubah huruf menjadi suara atau dalam bahasa awamnya “membaca.” Murid TK besar yang mulai bisa membaca telah mencapai tingkatan literasi ini. Jika anak tersebut diberi sebuah koran, misalnya, dia bisa membacanya dengan suara nyaring. Apakah dia paham dengan isi koran yang ia baca? Itu urusan lain, karena pemahaman ada pada tingkat literasi yang lebih tinggi.

Bagi Anda yang sudah bisa membaca dan ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang buta huruf, Anda bisa melihat koran yang ditulis dalam bahasa lain dengan ortografi (alfabet) yang berbeda. Misalnya, Anda sama sekali tidak bisa berbahasa Korea, cobalah Anda melihat koran yang ditulis dalam bahasa Korea. Membaca nyaring huruf-huruf yang ditulis di koran itupun Anda tidak bisa. Begitulah rasanya menjadi orang tanpa literasi tingkat 1.

Literasi Tingkat 2
Pada tingkatan 2 literasi, orang mampu memahami pesan yang terkandung dalam huruf atau simbol. Jadi, tidak sekedar bisa membaca, tetapi mengerti maksud dari yang ia baca. Ada sebuah kisah nyata. Suatu hari saya menyaksikan ada seorang pengunjung rumah sakit yang merokok di dekat papan peringatan yang bertuliskan “Dilarang Merokok.” Kenyataan bahwa dia tetap merokok mengandung tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia adalah orang yang buta huruf sama sekali. Kemungkinan kedua, dia bisa membaca tetapi tidak paham dengan pesan yang terkandung dalam papan larangan tersebut (literasi tingkat 1). Kemungkinan ketiga, orang tersebut bisa membaca dan paham dengan maksud larangan merokok tetapi nekad melanggar larangan.

Saya lebih cenderung menduga kemungkinan yang kedua, yakni si perokok adalah orang berliterasi tingkat 1. Jadi, dia tidak paham maksud dari papan peringatan larangan merokok. Akhir dari kisah nyata di atas adalah orang yang merokok tersebut didatangi petugas keamanan dan diminta untuk mematikan rokoknya. Sebuah adegan nyata yang menarik.

Literasi Tingkat 3 
Pada literasi tingkat 3, orang mampu membaca, memahami pesan yang terkandung dalam teks, memahami pesan tersirat, serta latar belakang dari teks. Pada tingkatan inilah pada umumnya “kebutahurufan” merajalela. Di era digital seperti sekarang ini, masyarakat dari berbagai kalangan dibombardir dengan teks dalam jumlah tanpa hitungan yang langsung membanjiri gawai yang mereka bawa kemana-mana. Orang kebanyakan dengan mudah mempercayai apapun yang mereka baca bahkan secara suka rela ikut menyebarkannya.

Disitulah awal mula merebaknya hoax. Penyebaran hoax adalah bertemunya kejahatan dengan kebodohan. Pembuat hoax adalah manusia-manusia durjana yang menyesatkan. Mereka menggunakan kemampuan mereka dalam menulis untuk memproduksi berita bohong, informasi palsu, atau kabar menyesatkan.

Sementara itu pembaca yang belum mencapai literasi tingkat 3 adalah orang yang dalam istilah Jawanya adalah “mogol” (setengah matang). Dibilang buta huruf tidak, tetapi mereka tidak bisa memahami teks secara utuh. Mereka tidak paham dengan pesan tersirat, maksud penulis, dan ideologi di balik teks.  

Sebaliknya, orang yang telah mencapai literasi tingkat 3 bisa memahami maksud yang terkandung dalam teks, makna tersirat, tujuan penulis, ideologi yang melatarbelakangi teks, dan tujuan akhir yang hendak dicapai penulis melalui teks. Literasi tingkat 3 inilah yang semestinya dimiliki oleh masyarakat yang telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini.

Literasi Tingkat 4 
Tingkatan literasi tertinggi adalah literasi tingkat 4. Pada tingkatan ini, orang mampu menghasilkan informasi dan ilmu pengetahuan yang bisa dipahami dan bermanfaat bagi orang banyak. Ada banyak kitab yang ditulis oleh para ulama’ yang mencerahkan orang banyak. Sebut saja Imam Al-Ghazali dengan “Ihya’ Ulumudin”nya atau Ibnu Hajar Al-Ashqalani dengan “Bulughul Maram”nya.  Para ulama’ tersebut adalah orang-orang yang memiliki literasi tingkat tinggi.  

Anda mungkin juga menikmati artikel-artikel populer yang terbit di koran atau majalah yang darinya Anda mendapatkan informasi yang bisa dinikmati dan bermanfaat. Para penulis artikel tersebut juga merupakan orang-orang yang memiliki literasi tingkat tinggi.

Literasi Pengguna Medsos  
Saya menduga bahwa kebanyakan pengguna medsos di Indonesia saat ini adalah orang-orang dengan literasi tingkat 2. Kebanyakan mereka baru bisa membaca saja, tetapi belum bisa memahami makna tersirat dan ideologi di balik teks. Alhasil hoax bertebaran di mana-mana. Informasi sampah merajalela. Masyarakat mudah sekali percaya dengan apa yang mereka baca, bahkan dengan suka rela ikut menyebarkannya, apalagi untuk teks yang diakhiri dengan tulisan: “Sebarkan!” Bak bom napalm yang ledakannya menghasilkan ledakan-ledakan ikutan yang berlipat ganda, begitupulalah dengan hoax. Sekali hoax tersebar, akan tersebarlah hoax itu beribu bahkan berjuta kali lipat.

==========
Rohani, S.Pd, MA 
Dosen UNNES, Pembina LKP Kampung Inggris Semarang, Pembina Yayasan Khairul Ummah Amanah 

Home

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *