Alkisah Haji Mulya seorang tokoh masyarakat di sebuah desa menikahkan putri bungsunya. Sebagai ungkapan rasa syukur dan untuk menghormati para tamunya, Haji Mulya menggelar pesta akbar selama tiga hari tiga malam. Ribuan tamu hadir memberikan restu untuk mempelai. Selama tiga malam berturut-turut digelar acara panggung yang spektakuler. Malam pertama, panggung diisi dengan pengajian akbar yang menghadirkan seorang dai kondang. Malam kedua, digelar pentas wayang kulit semalam suntuk dengan dalang kondang pula. Pada malam ketiga, digelar pertunjukan orkes dangdut, menghadirkan para penyanyi dan biduan ngetop.
Malam pertama menjadi malam kemuliaan bagi keluarga Haji Mulya. Pengajian akbar dihadiri oleh ribuan masyarakat, termasuk para alim ulama’, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah. Pujianpun mengalir deras kepada Haji Mulya atas acara tersebut yang berhasil menggerakkan orang banyak untuk mendengarkan nasihat-nasihat dari sang ustadz.
Di malam kedua, pagelaran wayang kulit dilaksanakan. Masyarakat yang menggemari kesenian tradisional berduyun-duyun menyaksikan. Lakon “Arjuna Wiwaha” yang dimainkan oleh sang dalang sangat pas dengan hajat walimatul ‘ursy yang sedang digelar oleh keluarga Haji Mulya. Lagi-lagi masyarakatpun memuji Haji Mulya. Masyarakat berpandangan bahwa Haji Mulya tidak hanya peduli dengan agama tetapi juga peduli dengan budaya lokal serta rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melestarikannya. Malam kedua menjadi malam kejayaan bagi Haji Mulya dan keluarganya.
Di malam ketiga, panggung berganti menjadi arena orkes dangdut. Kali ini yang hadir menonton ternyata tidak kalah banyak dari yang hadir pada pengajian dan pertunjukan wayang. Para muda-mudi dari desa-desa sekitar juga banyak yang datang. Di dalam hati Haji Mulya, diam-diam terbersit perasaan takabbur. Ia merasa bahwa sebagai seorang tokoh dia berhasil merangkul semua kalangan. Kalangan agamis dirangkul dengan pengajian. Golongan tradisional dengan wayang. Kelompok muda dengan orkes dangdut.
Selepas tengah malam, para biduan di panggung orkes semakin semangat menghibur para penonton yang menyemut. Penampilan seksi nan seronok, suara mendesah-desah, lagu-lagu “saru”, goyangan erotis yang menjadi ciri khas orkes dangdutpun membius ratusan pemuda desa yang sejak awal telah ikut berjoget di depan panggung.
Di kerumunan para penonton yang “ngibing” tercium menyengat bau minuman keras. Ternyata para pemuda yang kedanan biduan itu menenggak “wedang galak”. Lagu demi lagu, erotisme demi erotisme, dan jogetan demi jogetan. Senggolan antara dua orang pemuda yang setengah mabuk membuat mereka tersinggung dan terlibat baku hantam. Teman-teman dari dua pemuda yang terlibat perkelahian tidak terima dan perkelahian berubah menjadi tawur sengit. Singkat cerita, malam itu panggung orkes dangdut Haji Mulya berakhir dengan kematian satu orang pemuda yang luka parah pada kepalanya, terkena sabetan celurit. Beberapa pemuda juga terluka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Haji Mulyapun harus berurusan dengan yang berwajib sebagai saksi.
Tidak ada pujian yang diterima Haji Mulya di malam ketiga. Yang ada adalah penyesalan dan kepiluan. Pemuda yang mati sia-sia di arena orkes yang diadakan Haji Mulya ternyata meninggalkan seorang balita dan istri yang sedang mengadung delapan bulan. Si balita akan menjadi yatim dan adiknya yang di dalam kandungan tidak akan pernah melihat sosok bapaknya. Sementara si ibu malang yang sedang mengandung akan mengingat seumur hidup bahwa malapetaka yang terjadi di keluarganya terjadi saat ada pesta di rumah Haji Mulya.
Apa yang dilakukan oleh Haji Mulya ibarat orang minum es cendol yang dicampur oli. Es cendol enak. Oli bermanfaat. Tetapi jika keduanya dicampur, maka menjadi tidak enak. Diminum menjadi racun. Dimasukkan mesin, mesin menjadi rusak.
Haji Mulya telah mencampuradukkan kebaikan dan kebathilan. Tasyakuran yang semestinya diisi dengan kebaikan telah diisi dengan kebaikan tetapi dicampur dengan kebathilan. Pengajian akbar yang ia gelar mungkin menjadi jalan hidayah bagi orang. Pertunjukan wayang yang ia adakan mungkin menumbuhkan cinta kepada budaya. Tetapi kebaikan dari dua hal tersebut musnah, luluh lantak dengan bencana yang timbul akibat orkes dangdut yang menjadi penutup hajatnya. Haji Mulya harus menanggung dosa banyak orang, karena dialah awal adanya kemaksiatan.
Allah SWT befirman:
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
Penulis:
Rohani
(Pembina Yayasan Khairul Ummah Amanah)
Seandainya pak Haji Mulya menutup acaranya dengan makan bersama anak yatim di hari ketiga, pasti berakhir dengan indah. Hehe…