Catatan Perjalanan
NAPAK TILAS PANGERAN DIPONEGORO DI MAKASSAR
Oleh: Rohani
MAKASSAR-“Silakan, silakan, silakan,” dari kejauhan terdengar suara seorang laki-laki saat kami memasuki areal pemakaman Pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro di Kota Makassar (12/7). Kami bergegas menuju ke dua pusara besar yang terletak di sebelah kiri area pemakaman. Pusara tersebut adalah pusara Pangeran Diponegoro dan istri beliau, RA Ratu Ratna Ningsih. Kami memanjatkan do’a. Ada rasa haru yang sulit diungkapkan dengan kata-kata bahwa kami akhirnya bisa menziarahi tempat peristirahatan terakhir dari syuhada’ agung yang menjadi simbol perlawanan orang Jawa terhadap penjajah Belanda.
Usai berdoa kami bergeser ke Joglo yang terletak di bagian belakang areal pemakaman. Tertata di dalam joglo tersebut dua set kursi tamu. Pada dinding ruangan tertempel lukisan besar Pangeran Diponegoro dan beberapa pajangan yang lain. Di sebelah joglo, ada sebuah Musholla berukuran sedang yang bersih terawat.
Kami dipersilakan duduk oleh laki-laki yang tadi menyambut kami. Laki-laki tersebut ternyata adalah Raden Hamzah Diponegoro. Dia adalah keturunan kelima dari Pangeran Diponegoro. Sejak 28 Junuari 2017 ia diangkat oleh Keraton Yogyakarta sebagai Juru Kunci makam Pangeran Diponegoro dengan gelar Raden Bekel Suraksodipohamzah. Kami mengetahui informasi rinci tersebut dari SK Keraton yang terpajang di tembok joglo.
“Yah… inilah takdir Allah. Inilah resiko perjuangan,” tutur Raden Hamzah mengawali ceritanya tentang perjuangan Pangeran Diponegoro. Saat berusia empat puluh tahun, Pangeran Diponegoro yang merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III sudah tidak bisa lagi berdiam diri melihat kesewenang-wenangan penjajah Belanda dalam menindas rakyat. Belanda juga didukung oleh para penghianat dari golongan pribumi. Sikap oposisi dari Pangeran Diponegoro ditanggapi oleh militer Belanda dengan keras. Dalem Telogorejo, tempat kediaman Pangeran Diponegoro diserbu oleh 700 pasukan bersenjata lengkap. Pangeran Diponegoro berhasil lolos dan kemudian memimpin laskarnya melawan Belanda dari tahun 1825-1830 dalam perang yang dikenal dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Pada tahun 1830, Belanda mengundang Pangeran Diponegoro ke rumah Residen Kedu di Magelang untuk berunding. Ternyata Belanda dengan licik menipu. Alih-alih melakukan perundingan, beliau ditangkap kemudian dipenjarakan di beberapa tempat mulai dari Ungaran, Batavia, Manado, dan terakhir di Makassar. Saat Pangeran Diponegoro di tahan di Ungaran, militer Belanda juga menyisir dan menangkap istri, anak-anak, dan para pengawal dekat beliau. Mereka semua dipenjara dan diasingkan bersama Pangeran Diponegoro.
Raden Hamzah menuturkan bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang putra raja yang sejak kecil tekun belajar ilmu agama. Beliau tumbuh menjadi seorang pangeran yang sekaligus seorang ulama’ yang dicintai oleh rakyatnya. Pangeran Diponegoro pernah menjadi wali (pelaksana tugas) Sultan Hamengkubuwono V dikarenakan putra mahkota saat itu masih berusia kanak-kanak.
Perlawanannya kepada penjajah Belanda membawanya pada takdir sebagai tahanan politik yang diasingkan sampai akhir hayatnya. Pangeran Diponegoro diasingkan selama empat tahun secara berpindah-pindah di Ungaran, Batavia, dan Manado. Di Makassar sendiri pengasingannya memakan waktu dua puluh satu tahun sampai beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1955. Tempat beliau dipenjara di Makassar adalah di Benteng Fort Rotterdam di bibir Pantai Losari.
Perbincangan kami dengan juru kunci telah berlangsung selama satu setengah jam saat kami harus berpamitan. Kami merasa sangat didekatkan dengan semangat perjuangan dan pribadi Pangeran Diponegoro dan keluarganya. Saat itu, kami merasa sedang “bertakziah,” layaknya berkunjung kepada keluarga yang baru saja ditinggal meninggal oleh keluarganya. Pangeran Diponegoro telah meninggalkan warisan tak ternilai harganya berupa semangat jihad fii sabilillah untuk melawan penjajah, membela agama Allah, bangsa, dan negara ini. Semoga kita semua bisa meneladaninya.
GALLERY